Irama dalam Hidupku
episode 1 - Seniman Cengeng
Pagi ini
suasana kelas saat istirahat ramai seperti biasanya. Beberapa orang membuat
golongan dengan topik masing – masing. Aku dikenal sebagai orang yang cengeng,
tapi aku rasa cengengku masih berbobot. Aku hanya menangis karena dibohongi
atau mendapat nilai jelek. Rasa sedih yang berharga menurutku. Sayangnya hanya
aku yang berfikiran seperti itu. Aku mendapat golongan orang – orang cupu dan
kutu buku bahkan ada yang kemayu. Mau bagaimana lagi, daripada jadi antisosial.
Bel berdering tanda masuk pelajaran. Guru kami Bu Rara memberikan pengumuman
kalau akan ada perkemahan sabtu minggu di sekolah bulan depan, para murid
dipersilahkan untuk membuat kelompok 10 orang. Sudah taulah bagaimana jadinya,
hukum golongan tersebut bekerja di saat – saat seperti ini. Aku . . . dengan
para cupu dan kutu buku plus kemayu, berjumlah 7 orang. 3 orangnya kami dapat
dari golongan lain yang tidak terpilih di golongannya sendiri. Heh, tertawa
sinisku berbisik, jadi ini hukum alam. Setelah membuat kelompok kami membahas
nama kelompok, yel – yel dan penampilan. Kami memutuskan sepulang sekolah nanti
kami berkumpul di kantin sekolah untuk membahasnya.
Bel panjang
tanda pulang sekolah. Aku dipanggil Bu Rara ke kantor, beliau memintaku untuk
melukis kegiatan perkemahan tersebut. Aku berfikir untuk apa? tapi pertanyaan
tersebut tidak lantas keluar dari mulutku dan aku menerimanya saja. Cih,
ternyata aku juga pecundang. Aku menuju ke kantin dan melihat kelompokku sudah
berkumpul. Heh, tertawa sinisku keluar lagi. 3 orang dari golongan kami asik
mengobrol sendiri sedangkan sebut saja golonganku terdiam. Aku datang dan
bertanya, “Bagaimana hasilnya?”. seorang dari luar golongan menjawab “Kami
menunggumu, dari mana saja”. (Terdiam sejenak) aku berfikir apa yang kalian
butuhkan dari pecundang sepertiku, tapi pada kenyataan yang keluar dari mulutku
hanya “Maaf”. Kami memulai pembahasan mengenai nama kelompok, seperti biasa 3
orang tersebut heri (heboh sendiri). Mereka memikirkan nama – nama pahlawan
yang keren seperti Panji (Pahlawan Super tahun 2000-an) dan Kesatria baja
hitam. Tunggu, bukankan ini perkemahan
dan nama kelompok yang digunakan harusnya nama hewan karena ditoko juga hanya
menjual badge hewan untuk laki – laki. Lagi, suaraku tidak keluar dan kami
sepakat mengambil nama “Joko Tingkir”.
Esok
harinya berjalan seperti biasa dan golongan keren (bukan golonganku) menanyakan
nama kelompok masing – masing. Ada kelompok Srigala, Mawar, Melati, Singa. Satu
dari golongan keren di kelas bernama Ozie menanyaiku, Sial! kenapa harus aku.
“Apa nama kelompokmu Raga?”, entah aku terkena kutukan tidak bisa melemparkan
atau diam ketika tidak tau. Sial! kenapa kau tidak bertanya ke ketua
kelompokku. Mulutku berbicara lagi “Joko Tingkir”, satu kelas terdiam. Aku
tertawa kecil “hehehe, baguskah?”. Kemudian sekelas tertawa keras, sampai ada
yang memegangi perut dan memukul bangku. Aku terheran kemudian Ozie berbicara
kepadaku “Raga, kamu lucu juga ternyata Hahahaha”. Aku makin heran darimananya
yang lucu. Aku melihat ketua kelompokku ikut tertawa juga. Ozie menjelaskan
“Jangan – jangan kamu tidak tau kalau nama kelompok laki – laki kita harus nama
hewan dan aku bertanya agar tidak ada nama yang sama”. Insting cengengku mulai
bereaksi, bertanya – tanya dalam hati kenapa ketua kelompokku juga ikut
mentertawaiku, inikah yang dimaksud bermuka dua. Tunggu aku Sekolah Dasar, aku
tidak tau apa artinya bermuka dua tapi kenapa dada ini sesak. Ditambah sesak
karena golonganku yang cupu itu tidak bisa membantuku apa – apa. Aku merasa
sendiri. Lagi lagi air mataku tak sengaja keluar. Sekelas sejenak diam dan
menghela nafas. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan selain menangisi rasa
sesak ini.
Komentar
Posting Komentar